Pages

Sunday, February 8, 2015

#RIP my HDD

Rencananya mau mindahin file dari laptop ke eksternal harddisk. Waktu buka folder tidak nampak lokasi hardisk. Saya pun mulai panik dan baru sadar lampu HDD berkedip terus (seharusnya nyala terus tanpa kedip). Ok, aku cabut dan pasang lagi dan tidak terdeteksi lagi. Blank....

Setelah berpikir keras, semalam sewaktu hendak menshutdown lama tidak mati, kemudian saya mencabut kabel Hdd saya dan laptop pun mati. Ini penyebab rusaknya Hdd. Kok bisa?padahal selama ini saya mematikan komputer kabel Hdd masih terpasang tidak di safely remove, dll.

Karena panik, semua cara dicoba. Mulai dari ganti kabel, sampai dengan membuka paksa dengan obeng. Semua saran dan cara dari internet sudah dicoba. Hingga akhirnya saya ke cara terakhir, membawanya ke service komputer.

Paginya, begitu toko komputer buka, saya langsung membawanya untuk dicek. Rasanya tuh kayak nunggu vonis dokter. Mana teknisinya belum datang, disuruh tinggalin Hddnya ntar ditelepon. Sorenya ditelepon dan kabar buruk itu datang dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi... dan saya disuruh datang membawa pulang jenazahnya.
"Tidaaaaakkkkkk." Aku tak peduli mau dirusak atau dihancurkan tapi data yang hampir 500 gb lenyap.

**Seberharga itukah? Itu lebih dari berharga. Semua data itu dikumpulkan lebih kurang dua tahun. Film, musik, ebook, bahkan tulisan tulisan berharga, belum lagi data dari laptop semua dipindah kesana. Mp3 yang sudah disusun berdasarkan abjad. Hilang, lenyap. Film-film yang belum ditonton. Buku yang belum dibaca.

Sekarang HDD nya berubah fungsi jadi alat pukul. Pukul lalat atau nyamuk. Atau jadi alas.

Sampai sekarang belum niat beli Hdd baru. Masih belum terima kenyataan. Kembali ke ** dan **.......

Monday, June 16, 2014

Yogyakarta - Memikat di Setiap Sudut (Epilog)

30 Jumat 2014, pagi hari Stasiun Tugu Yogyakarta.

Stasiun Tugu sebagai pintu keluar
Kereta api Argo Lawu ini bergerak melewati deretan sawah, membelah pegunungan di sebelah kanan dan kiri. Bergerak terus menuju Gambir, Jakarta selama lebih kurang tujuh jam. Di dalam gerbong pertama, saya tertidur pulas begitu kereta mulai berjalan. Siang hari, petugas kereta membangunkan saya untuk makan siang.

Hampir sepuluh hari sudah saya pergi traveling. Setengahnya dengan teman-teman dan setengahnya sendirian. Dan hari ini perjalanan pulang dimulai dengan tujuh jam perjalanan kereta api. Sampai Gambir, menuju bandara Soekarno-Hatta harus melalui 3 jam macetnya Jakarta.

Dan untuk merasakan sedikit sensasi 'backpacker', malamnya saya mencoba menginap di bandara. Nginap di bandara ternyata gampang-gampang susah. Tidak susah nyari kursi kosong. Karena sendirian, untuk menjaga backpack, kaki ditaruh diatas backpack. Setelah tertidur, kira-kira jam 2 pagi terbangun karena suara ribut. Ternyata di samping saya sudah ada rombongan ibu bapak. Terpaksa harus nyari tempat kosong lagi. Ternyata ini rasanya tidur di airport...

Perjalanan pulang berikutnya dengan pesawat kemudian disambung dengan kereta api Medan-Siantar. Akhirnya perjalanan saya berakhir.

Awalnya, ide untuk bepergian sendiri itu terasa aneh. Namun, karena pengaruh teman (yang sudah melakukan solo travel) dan blog-blog travel yang ditulis oleh backpacker saya mulai berpikir, 'kenapa ga?'.
Dan benar kata mereka para backpacker, flashpacker, dll bahwa kita akan kecanduan.

Salam travel.

Friday, June 13, 2014

Yogyakarta - Memikat di Setiap Sudut (III)

Yogyakarta, 29 Mei 2014

Hari ini rencananya hanya mengunjungi Candi Prambanan setelah itu mengunjungi Keraton. Belajar dari pengalaman semalam, hari ini bangun lebih pagi. Langsung breakfast, dan naik Trans Jogja. Perjalanan tidaklah lama. Begitu sampai di terminal, saya berjalan kaki ke Taman Wisata Prambanan. Jalan kaki sebenarnya jauh, tapi karena masih pagi dan cuaca cukup bersahabat jadi saya memilih berjalan kaki.

Kondisi dan suasana Prambanan hampir mirip dengan Borobudur. Hanya di sini lebih sedikit turisnya, mungkin karena masih pagi. Kebanyakan anak-anak sekolah. Sesampainya di depan candi, ga tahu kenapa cuman kagum dan sedikit merinding melihat Candi-candinya. Mungkin kalau Borobudur sudah sering dilihat lewat layar kaca sedangkan Candi Prambanan hampir tidak pernah.

Candi Prambanan
Menurut beberapa blog dan website, Candi Prambanan merupakan Candi Hindu termegah dan terindah di dunia. Ada juga rumor yang mengatakan Candi Prambanan lebih tinggi beberapa meter daripada Borobudur.

Untuk memasuki Candi Prambanan kita diharuskan memakai kain batik yang untuk memakainya saja ada tata caranya. Di Prambanan juga, Gunung Merapi terlihat lebih dekat. Kali ini kamera sudah ready, jadi ga usah takut lowbat lagi. Ada dua candi yang lagi direnovasi, dan lantainya juga penuh abu. Mungkin abu vulkanik Merapi. Dari Prambanan, saya melihat di jauh ada bangunan yang terbuat dari batu hitam mengkilap. Selesai dari Prambanan, rencananya mau kesana tapi makin jalan kok makin sepi, atau aku yang salah jalur jadi tidak jadi pergi.

Berjalan menuju pintu keluar, ada penangkaran rusa. Kita bisa membeli seikat sayur untuk diberikan ke rusa-tersebut. Kemudian terdapat Museum Prambanan yang memiliki koleksi foto penemuan Prambanan. Lebih dekat ke pintu keluar, berjajar penjual souvenir yang benar-benar banyak dan panjang. Tempat penjualan souvenir ini memang sudah diatur, sehingga kita mau tidak mau harus melewatinya juga. Yang bikin lega adalah tidak adanya penjual yang agresif dan memaksa kita untuk beli.

Mie Pontianak
Sepulangnya dari Prambanan, makan siang di Oey. Salah satu rumah makan milik Pak Bondan Winarno, yang terkenal jargonya 'Maknyuss'. Suasana rumah makannya oke. ada pilihan mau makan di dalam atau di garden. Saya memilih makan di taman, begitu duduk di belakang saya ada dapur, jadi terdengar suara masak memasak, di sekitar ditanam pohon-pohon teduh dan bambu-bambu menjulang. Begitu bambu digoyang angin, suasana tempoe doeloe langsung terasa. Untuk makanannya saya memesan Mie Ponti, lumpia dan es lemon. Mie Ponti atau Mie Pontianak itu berupa Mie Pansit dengan capit kepiting yang digoreng ala tempura. Lumpianya berisi lobak putih, awalnya tidak tahu kalau isinya lobak putih untungnya alergi saya tidak kambuh. Untuk service dan suasana resto jempol tapi untuk makanan standar menurut saya.

Jam 4 saya memutuskan naik becak ke Kraton. Pertama nanya mas becak katanya masih buka trus saya minta diantar. Anehnya saya diantar hampir mendekati Kraton dan diturunkan katanya tinggal nyebrang sudah sampai. Oke saya jalan, begitu sampai  di lapangan parkir, ada tukang becak lain datang bilang kalau sudah tutup. Wah, politik juga itu mas becaknya. Akhirnya saya nyari becak untuk mengantar saya ke Pasar Beringharjo dan lagi-lagi terjadi percakapan dengan mas becaknya:

EB : "Mas, antar ke Beringharjo (nama pasar di Malioboro)!"
Mas becak : "Mau beli batik mas, saya antar ke pabriknya aja langsung. Dekat kok."
EB : "Ga usah mas, udah sore capek."
Jalanan Malioboro
Mas becak : "Ke pabrik Bakpia mau. Di situ lebih murah. dekat ke pabrik batik."
EB : "Beringharjo saja mas. Udah capek."
Mas becak : "Kalau ke...(belum selesai ngomong)."
EB : "Tidaaaaaaaak. Malioborooooo."

Pada akhirnya saya nyerah juga, untuk ke Beringharjo mas becaknya bawa saya putar jalan. Sisa hari saya hanya berjalan menyusuri jalanan Malioboro. Beli bakmi jawa lagi, kali ini saya tidak minta ditambahin kecap manis, rasanya enak. Kemudian kembali ke hotel dan menyiapkan ransel untuk pulang keesokan harinya.




Thursday, June 12, 2014

Yogyakarta - Memikat di Setiap Sudut (II)

Magelang, 28 Mei 2014, siang hari dalam perjalanan pulang ke Jogja.

Perjalanan pulang dari Candi Borobudur tidaklah semulus yang saya kira. Awalnya, dari terminal Borobudur menuju Jombor lancar-lancar. Bahkan, kejenakaan sang kenek (yang di samping sopir bertugas mengutip uang) membuat suasana gerah dan bosan di dalam bus cair. Berkali-kali kenek menaik turunkan penumpang, dan sepertinya dia kenal semua yang naik. Terus, kalau turun dia selalu memperingatkan kaki kiri atau kanan (saya lupa) yang harus turun duluan.

Penumpang lain bertanya lagi, "Kalau kaki sebelahnya yang turun duluan kenapa, mas?"
Kenek, "Nanti jadi anak kurang ajar."
Aku hanya tersenyum, entah itu benar atau tidak, tapi itulah kearifan lokal mereka.

Keneknya juga jago bahasa Inggris, begitu mau minta bayaran dari dua bule di belakang, pengucapannya lancar.

Begitu sampai di terminal Jombor, menunggu Trans Jogja ke Malioboro. Di Trans Jogja, aku hanya berdiri, takut kalau duduk luka di lutut terbuka. Ternyata, untuk sampai ke Malioboro, berjam-jam karena macet.

Sampai di hotel di Malioboro, istirahat kilat. Melewatkan makan siang, karena sudah jam 3, (perkiraan saya jam 1) dan masih harus melanjutkan ke Kota Gede. Ada banyak cara ke Kota Gede, tapi akhirnya saya harus memilih taksi ketimbang :
--Naik becak, ke Kota Gede itu lebih kurang 45 menit, tidak tega nengok bapak tua mendayung becak sejauh itu
--Naik Andong, kalau kudanya bisa lari masih ok. Bagaimana kalau kudanya mogok atau galau.
--Naik Trans Jogja, kapok macetnya ditambah Trans Jogja pasti berhenti di halte. Belum tahu dari halte ke Coklat Monggo berapa lama jalan kaki.

Akhirnya, pihak hotel membantu memanggil taksi dan setengah jam kemudian sampailah saya di toko Coklat Monggo.

Toko Coklat Monggo
Pabrik dan toko 'resmi' Coklat Monggo ada di Kota Gede. Kota Gede itu kecamatan di Yogyakarta. Awalnya saya pikir Kota Gede itu kota tetangga Yogya. Jalanannya sempit dan berkelok-kelok, di kanan kiri banyak penjual kerajinan perak. Suasana jalanannya menurut saya seperti jalanan di kota kecil di Eropa. Untungnya saya pakai taksi, jadi tidak kesulitan arah jalan.

Sampai di toko, hanya sekelompok turis yang lagi milih-milih coklat. Tokonya kecil, ada kulkas besar, 2 pelayan, dan rak pajangan. Di samping ada jendela membentang, memperlihatkan dapur tempat pembuatan coklat. Karena saya datangnya kesorean, jadi di dalam kosong melompong. Namun untuk memastikan saya bertanya kepada pelayan apakah saya boleh melihat pembuatan coklat ini. Ternyata untuk menyaksikan pembuatan coklat datangnya harus pagi sampai jam 12.
Dapur Coklat Monggo
Kenapa kalau di Jogja kemana-mana harus pagi-pagi???

Bukan cuman itu, tester coklatnya juga tinggal beberapa jenis. Untungnya stok coklat masih ada. Masing-masing rasa saya beli satu. Favorit aku sih yang dark chocolate 69%. Harganya sih memang tidak murah, tapi untuk kualitas saya rasa pantas. Buktinya, memang enak. Dan Coklat Monggo saya rasa di dunia hanya ada di Jogja.

Saya seharusnya membeli coklat ini sehari sebelum pulang. Soalnya, coklat ini cepat meleleh di suhu panas. Tidak boleh dimasukkan ke bagasi, jadinya saya 'hand carry' terus. Karena coklat ini juga, saya harus menyetel ac hotel hingga yang terendah. Sampai saya deretkan di lantai kamar, supaya tidak saling menimpa. Sebenarnya, pihak hotel menawarkan titip di kulkas mereka, tapi ini berharga. Mahal belum diasuransi!!

Begitu pulang ke hotel, buat janji sama teman untuk makan nanti malam. Tapi karena sejak siang belum makan, langsung keluar mencari makanan. Sebenarnya, dari tadi sudah ada incaran. Di seberang, ada yang jual bakmi jawa, kalau di belokan samping, ada yang jual Mie pansit ayam.

Bakmi Jawa
Pertama, coba bakmi jawa. Karena kebiasaan kalau di Siantar beli mie suruh ditambah kecap manis, di sini tanpa sadar saya menyuruh mbaknya nambah kecap manis (kesalahan saya lagi). Ternyata di sini beli mie kalau kita minta ditambah kecap manis, hasilnya jadi hitam. Tapi, ya tetap saya makan, dari baunya harum khas mie jawa. Untuk masak mie ini, mbaknya pakai arang sebagai bahan bakar. Rasanya sih enak, tapi kemanisan hingga agak pahit karena kecap manis itu.

Mie Pansit Ayam





Kedua, setelah bakmi saya berjalan menuju Mie pansit ayam. Penjualnya keturunan Chinese, ramah. Setelah mie pansitnya datang, saya langsung mencobanya. Mienya buatan sendiri, saya coba enak. Ada pendamping berupa acar timun. Yang tidak tahan itu daging ayamnya yang keasinan. Pokoknya terlalu asin, padahal sudah saya tuang kuah. Jadi saya cuman makan mienya. Pokoknya, mie pansit di Siantar masih jawara!!

Malam hingga tengah malam, keluar bersama teman makan di RM. Raminten. Masakan khas Jawa dengan nama menu-menunya yang eksotis. karena sudah kenyang jadi cuman pesan nasi goreng. Rasanya aman-aman.




Yogyakarta, 28 May 2014

Wednesday, June 11, 2014

Yogyakarta, Borobudur

Terakhir saya melihat Borobudur adalah di acara 'The Amazing Race' dimana pesertanya harus mengelilingi candi dan menghitung jumlah Stupa dan posisi tangannya. 

Karena acara tersebut jugalah, Candi Borobudur masuk dalam 'bucket list' saya. Hari ini, 28 Mei 2014, di sekitar jam 10an, saya dalam perjalanan menunaikan 'bucket list' saya. Perjalanan ke sana lumayan jauh melalui jalan yang tidak bisa dibilang lebar. Namun pemandangan kanan kiri berupa persawahan cukup memanjakan mata, apalagi cuaca panas menyengat.

Sekitar satu jam naik bus, akhirnya sampai di terminal. Untuk mencapai Candi Borobudur, saya harus berjalan lagi cukup jauh. Padahal di terminal, banyak ojek, becak, dan andong yang menawarkan diri namun kutolak karena kupikir jaraknya dekat. Dari pintu masuk, kita harus berjalan lagi melewati lapangan parkir yang luas. Sepanjang perjalanan, banyak penjual minuman, ojek payung, dan jasa potret.

Sampai di loket, beli tiket seharga 30 ribu. Buat warga asing kalau tidak salah 20 dolar. Salah satu keuntungan jadi WNI. 30 ribu sudah termasuk masuk dua museum, naik ke puncak Borobudur. Murah menurut saya.

Pintu masuk candi difoto dari atas
Tanpa buang waktu, saya memberi tiket langsung masuk. Sekali lagi dari loket ke candi masih harus jalan agak jauh. Tapi di kanan kiri ada pohon rindang, kursi taman dimana-mana, ada papan-papan informasi dimana-mana. Banyak yang bisa dijadikan objek foto. Kemudian terlihatlah, bangunan megah yang dibangun pada abad ke-9, Candi Borobudur.

Dibangun jauh sebelum Angkor Wat, Candi Borobudur menjadi salah satu bangunan dengan arsitektur paling mengagumkan yang pernah dibuat oleh manusia. Situs warisan dunia UNESCO ini sendiri menjadi Candi Budha terbesar ke-2 di dunia setelah Angkor Wat. Bangunan yang dibentuk oleh lebih kurang dua juta batu ini disusun dengan sistem interlock, tanpa semen sama sekali. Ditambah ribuan relief sepanjang dinding yang memiliki cerita Sang Budha dan ajaran-ajarannya. Untuk mengikuti ceritanya, masuk melalui pintu timur kemudian berjalan searah jarum jam naik hingga ke puncaknya. Kalau reliefnya disusun maka panjangnya akan mencapai 3 km. Kalau mau dibahas, keajaiban dan kemegahan bangunan ini tidak ada habisnya. Magnet ini juga yang telah membawa wisatawan dari seluruh dunia datang dan menyaksikan sendiri kemegahan bangunan ini.

Kamera ga muat jadi terpotong kanan kiri
Hal pertama yang saya lakukan selain foto-foto, pastinya menyentuh dindingnya untuk pertama kali, kemudian naik tangga langsung ke puncak, cukup bikin ngos-ngosan. Sampai ke puncak, biarpun panas dan badan sudah berkeringat namun pemandangan di sekitaran candi bikin takjub. Gunung-gunung di kanan kiri yang tertutup kabut menyiratkan suasana mistis. Tanpa panjang lebar, kamera langsung beraksi foto sana foto sini. Sekali lagi, saya merasa disini mau foto apa saja, mau foto dimana saja, hasilnya pasti bagus. mau foto patung Budha dari depan, belakang, kiri, kanan semua hasilnya pasti bagus. Mau pakai kamera hp juga hasilnya bagus. Yang cukup susah adalah banyaknya orang sehingga di beberapa foto pasti ada orang lain yang nongol, atau kalau bukan orang, payungnya yang muncul.

Makin ke atas, larangan makin banyak seperti tidak boleh duduk di puncak batunya, dll. Di setiap tingkat ada petugas yang menjaga. Saya pengennya menjulurkan tangan ke dalam stupa, ingin menyentuh patung Budha di dalam membuktikan rumor kalau ada yang bisa menyentuh, ada yang tidak bisa. Tapi karena keringat di tangan bisa merusak batu jadi saya mengurungkan niat. 
Salah satu sudut Candi Borobudur

Di sini juga saya melakukan beberapa kesalahan:
--Kesalahan pertama, seharusnya saya menyewa jasa guide tour sehingga saya tahu cerita-cerita di dinding Borobudur. Soalnya reliefnya cukup susah dilihat.

--Kesalahan kedua, karena terlalu bersemangat, begitu sampai langsung naik ke puncaknya, padahal caranya adalah mengelilingi dari bawah sampai ke atas, sedangkan saya mengelilingi dari atas ke bawah.

--Kesalahan ketiga, lupa pintu masuk dimana. Karena pintu masuk dan keluar beda dan karena saya cukup buta arah. Petunjuknya pakai arah mata angin, jadi saya bingung. Cara terakhir, lihat banyak orang turun, ya ikut aja.

--Kesalahan keempat, lupa bawa baterai kamera cadangan. Untuk pertama kali, saya travel baterai kamera sampai lowbat. 


Begitu selesai di Candi Borobudur, saya langsung menuju Museum Borobudur. Di dalam diceritakan sejarah Candi mulai dari penemuan, perbaikan, dan pembersihan Borobudur. Di sini, kita harus berterima kasih buat semua orang yang telah terlibat dalam penemuan, perbaikan hingga kondisi Borobudur seperti aslinya. Museumnya lengkap, hingga jamur-jamur apa saja yang tumbuh di Candi juga dipamerkan.

Pintu masuk Museum Samudraraksa
Museum kedua, Museum Samudraraksa. Di relief Candi terdapat pahatan yang menggambarkan ketangguhan nenek moyang kita dalam mengarungi Samudra. Kejayaan masa lalu itu juga yang memukau Philip Beale, mantan AL Inggris untuk membuat kapal yang serupa seperti di relief tersebut. Bersama pembuat kapal setempat dan timnya, kapal yang dinamakan Samudraraksa berhasil mengarungi perjalanan dari Jakarta ke Afrika di tahun 2003-2004. Perjalanan ini juga membuktikan betapa nenek moyang kita tangguh dalam hal maritim, membawa kebudayaan kita hingga ke tanah Afrika. Begitu ekspedisi selesai, kapal dikembalikan ke Indonesia, dan dirakit kembali di dalam museum ini. Tahun 2005, museum ini dibuka untuk umum. Semua informasi tentang kapal Samudraraksa lengkap di sini. Jenis kayu yang dipakai hingga peralatan rumah tangga yang digunakan sewaktu perjalanan. Sekali lagi saya terkagum-kagum. 
Suasana pintu keluar Candi Borobudur

Selesai dari museum, saatnya kembali ke Yogyakarta. Sepanjang perjalanan ke pintu keluar, banyak penjual souvenir dan minuman. Bahkan ada turis yang menyebutnya lorong penjual. Kalau anda tidak suka kepadatan, silahkan ambil jalan samping. Tapi saya memilih melewati 'lorong' ini karena ingin melihat-lihat kerajinan tangan penduduk setempat walaupun tidak membelinya (takut rusak di bagasi). Selesai penjual oleh-oleh, kemudian kita juga akan disuguhi penjual makanan. Setelah itu karena malas jalan hingga ke terminal, akhirnya saya memilih naik becak dayung hingga ke terminal.

Taman wisata Borobudur jelas sudah siap dalam segala hal menyambut turis. Dari pintu masuk, hingga pintu keluar semuanya sudah diatur. Menurut penjual souvenir, paling ramai itu waktu sunset, tidak heran sinar matahari pasti menambah kesan mistis. Waktu paling tepat menurut saya mungkin perayaan Waisak. 
Kalau tidak suka panas, dianjurkan pagi-pagi sudah berangkat apalagi pakai transportasi umum.

Borobudur, awesome!!






Monday, June 9, 2014

Yogyakarta - Memikat di Setiap Sudut (I)

Yogyakarta, 28 Mei 2014, pagi hari

Sekali lagi mata ini tertipu mengira hari sudah siang, ternyata masih jam 6 lebih. Aku bangkit dan menatap ke jendela kecil panjang di samping. Jalanan masih sepi, hanya satu dua becak dayung yang melintas jalanan. Lutut kaki terasa sakit karena luka dan semalam duduk di mobil selama 7 jam. Tapi akhirnya berhasil juga berjalan sampai ke kamar mandi. Selesai mandi, saya kembali duduk di ranjang dan mulai menyusun rencana perjalanan hari ini.

7.30, saya mengunci pintu kamar dan turun dua lantai menuju pintu keluar. Akhirnya, untuk pertama kali dalam hidup saya mencoba menjadi 'solo traveler'.

Dari hotel, saya belok ke kiri dan menyusuri jalan lebar perlahan-lahan. Di kanan kiri jalanan hampir semuanya merupakan hotel, homestay, bahkan di gang-gang kecil juga tergantung reklame homestay. Dan hampir semuanya tergantung tulisan 'kamar penuh'. Ternyata memang lagi tanggal merah, jadi turis berdatangan.

Sarapan di Malioboro
Sebenarnya saya mencari sarapan, dan sampai di ujung jalan saya sudah tiba di Malioboro, kawasan wisata. Jalan Malioboro di pagi hari masih sepi. Hanya beberapa becak dayung dan andong (kendaraan yang ditarik kuda) yang beroperasi di Malioboro. Beberapa wisatawan, bahkan backpacker terlihat di Malioboro, mungkin baru sampai di Jogja pagi ini.

Setelah mencari-cari sarapan di Malioboro dan tidak berhasil menemukan sarapan berupa mie. Akhirnya nyerah makan nasi ditambah lauk telur mata sapi, dan ayam opor.

Petunjuk dari mbak di Halte
Selesai makan, saya segera menuju halte Trans Jogja di Malioboro. Trans Jogja buat saya salah satu keberhasilan kota Yogya. Sampai di dalam langsung beli tiket hanya 3000 rupiah, bebas transit sampai manapun. Cara ke Borobudur tinggal tanya mbak/mas penjaga halte dan langsung dikasih kertas ditulisi bus no. berapa sampai dimana. Hanya tiga kali ganti bus.

Bus pertama, agak cepat sampai halte berikutnya. Turun, kemudian tunggu trans Jogja berikutnya. Kebetulan, ketemu pasangan yang juga hendak ke Borobudur. Mereka pegang peta, jadi saya bertanya dari mana dapat petanya. Ternyata di dekat Halte Trans Jogja yang kedua di Malioboro, ada rumah Tourist Information. Sepulang dari Malioboro harus kesana, pikirku.

Jombor, terminal terakhir sebelum menuju Borobudur. Awalnya, cukup bingung mencari nama bus yang diberikan oleh mbak di halte tadi. Kemudian ada yang berteriak, "Borobudur, Borobudur!!". Tanpa menunggu saya langsung naik. Busnya berukuran sedang, kondisi tidak bisa dibilang bagus, namun juga tidak buruk. Penumpang penuh, bus baru berjalan.

Dan sambil menunggu inilah yang saya lihat.
-- Tukang koran masuk, membagi-bagi koran dengan menjemurnya di kursi. Sambil berteriak berita utama hari ini. Kalau anda tertarik silahkan ambil koran tersebut dan bayar. Kalau tidak mau beli, biarkan saja koran tersebut, nanti diambil kembali.
-- Penjual kue basah, seperti bakpao, dll.
-- Penjual kacang dan jajanan lainnya.
-- Pengamen. Ini yang paling berkesan. Pengamen disana tidak nyanyi lagu-lagu pop atau yang lagi populer. Tapi pengamen ini nyanyi lagu tentang pagi hari di Jogja. Langsung berasa Jogjanya.

Memang inilah yang saya harapkan dari Jogja, penduduknya, sarana prasarana, budayanya. Dan ini terjadi belum sehari saya di Jogja.

Kemudian bus mulai berjalan. Membawa saya menuju salah satu Keajaiban Dunia, di sini, di Indonesia.



bersambung....