Pages

Thursday, June 12, 2014

Yogyakarta - Memikat di Setiap Sudut (II)

Magelang, 28 Mei 2014, siang hari dalam perjalanan pulang ke Jogja.

Perjalanan pulang dari Candi Borobudur tidaklah semulus yang saya kira. Awalnya, dari terminal Borobudur menuju Jombor lancar-lancar. Bahkan, kejenakaan sang kenek (yang di samping sopir bertugas mengutip uang) membuat suasana gerah dan bosan di dalam bus cair. Berkali-kali kenek menaik turunkan penumpang, dan sepertinya dia kenal semua yang naik. Terus, kalau turun dia selalu memperingatkan kaki kiri atau kanan (saya lupa) yang harus turun duluan.

Penumpang lain bertanya lagi, "Kalau kaki sebelahnya yang turun duluan kenapa, mas?"
Kenek, "Nanti jadi anak kurang ajar."
Aku hanya tersenyum, entah itu benar atau tidak, tapi itulah kearifan lokal mereka.

Keneknya juga jago bahasa Inggris, begitu mau minta bayaran dari dua bule di belakang, pengucapannya lancar.

Begitu sampai di terminal Jombor, menunggu Trans Jogja ke Malioboro. Di Trans Jogja, aku hanya berdiri, takut kalau duduk luka di lutut terbuka. Ternyata, untuk sampai ke Malioboro, berjam-jam karena macet.

Sampai di hotel di Malioboro, istirahat kilat. Melewatkan makan siang, karena sudah jam 3, (perkiraan saya jam 1) dan masih harus melanjutkan ke Kota Gede. Ada banyak cara ke Kota Gede, tapi akhirnya saya harus memilih taksi ketimbang :
--Naik becak, ke Kota Gede itu lebih kurang 45 menit, tidak tega nengok bapak tua mendayung becak sejauh itu
--Naik Andong, kalau kudanya bisa lari masih ok. Bagaimana kalau kudanya mogok atau galau.
--Naik Trans Jogja, kapok macetnya ditambah Trans Jogja pasti berhenti di halte. Belum tahu dari halte ke Coklat Monggo berapa lama jalan kaki.

Akhirnya, pihak hotel membantu memanggil taksi dan setengah jam kemudian sampailah saya di toko Coklat Monggo.

Toko Coklat Monggo
Pabrik dan toko 'resmi' Coklat Monggo ada di Kota Gede. Kota Gede itu kecamatan di Yogyakarta. Awalnya saya pikir Kota Gede itu kota tetangga Yogya. Jalanannya sempit dan berkelok-kelok, di kanan kiri banyak penjual kerajinan perak. Suasana jalanannya menurut saya seperti jalanan di kota kecil di Eropa. Untungnya saya pakai taksi, jadi tidak kesulitan arah jalan.

Sampai di toko, hanya sekelompok turis yang lagi milih-milih coklat. Tokonya kecil, ada kulkas besar, 2 pelayan, dan rak pajangan. Di samping ada jendela membentang, memperlihatkan dapur tempat pembuatan coklat. Karena saya datangnya kesorean, jadi di dalam kosong melompong. Namun untuk memastikan saya bertanya kepada pelayan apakah saya boleh melihat pembuatan coklat ini. Ternyata untuk menyaksikan pembuatan coklat datangnya harus pagi sampai jam 12.
Dapur Coklat Monggo
Kenapa kalau di Jogja kemana-mana harus pagi-pagi???

Bukan cuman itu, tester coklatnya juga tinggal beberapa jenis. Untungnya stok coklat masih ada. Masing-masing rasa saya beli satu. Favorit aku sih yang dark chocolate 69%. Harganya sih memang tidak murah, tapi untuk kualitas saya rasa pantas. Buktinya, memang enak. Dan Coklat Monggo saya rasa di dunia hanya ada di Jogja.

Saya seharusnya membeli coklat ini sehari sebelum pulang. Soalnya, coklat ini cepat meleleh di suhu panas. Tidak boleh dimasukkan ke bagasi, jadinya saya 'hand carry' terus. Karena coklat ini juga, saya harus menyetel ac hotel hingga yang terendah. Sampai saya deretkan di lantai kamar, supaya tidak saling menimpa. Sebenarnya, pihak hotel menawarkan titip di kulkas mereka, tapi ini berharga. Mahal belum diasuransi!!

Begitu pulang ke hotel, buat janji sama teman untuk makan nanti malam. Tapi karena sejak siang belum makan, langsung keluar mencari makanan. Sebenarnya, dari tadi sudah ada incaran. Di seberang, ada yang jual bakmi jawa, kalau di belokan samping, ada yang jual Mie pansit ayam.

Bakmi Jawa
Pertama, coba bakmi jawa. Karena kebiasaan kalau di Siantar beli mie suruh ditambah kecap manis, di sini tanpa sadar saya menyuruh mbaknya nambah kecap manis (kesalahan saya lagi). Ternyata di sini beli mie kalau kita minta ditambah kecap manis, hasilnya jadi hitam. Tapi, ya tetap saya makan, dari baunya harum khas mie jawa. Untuk masak mie ini, mbaknya pakai arang sebagai bahan bakar. Rasanya sih enak, tapi kemanisan hingga agak pahit karena kecap manis itu.

Mie Pansit Ayam





Kedua, setelah bakmi saya berjalan menuju Mie pansit ayam. Penjualnya keturunan Chinese, ramah. Setelah mie pansitnya datang, saya langsung mencobanya. Mienya buatan sendiri, saya coba enak. Ada pendamping berupa acar timun. Yang tidak tahan itu daging ayamnya yang keasinan. Pokoknya terlalu asin, padahal sudah saya tuang kuah. Jadi saya cuman makan mienya. Pokoknya, mie pansit di Siantar masih jawara!!

Malam hingga tengah malam, keluar bersama teman makan di RM. Raminten. Masakan khas Jawa dengan nama menu-menunya yang eksotis. karena sudah kenyang jadi cuman pesan nasi goreng. Rasanya aman-aman.




Yogyakarta, 28 May 2014

No comments:

Post a Comment